Powered By Blogger

Kamis, 24 Maret 2011

STUDI SEJARAH TERHADAP SISTEM OTONOMI DAERAH DI INDONESIA: PERUBAHAN-PERUBAHAN KEBIJAKAN OTONOMI DAERAH DI INDONESIA SEJAK ERA KEMERDEKAAN


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perkembangan sebuah ilmu sangat ditentukan oleh kemampuannya menjawab berbagai masalah-masalah sosial dan alam yang menjadi bidang garapannya. Semakin fungsional sebuah ilmu- dalam arti mampu menjalankan sekurang-kurangnya lima fungsi utama ilmu – akan semakin banyak pendukungnya. Hal tersebut pada gilirannya akan mendorong semakin banyak orang yang mempelajari dan menghasilkan teori maupun konsep baru. Sebaliknya, apabila sebuah ilmu tidak fungsional dalam menjawab kebutuhan masyarakat, maka ilmu tersebut akan ditinggalkan oleh masyarakat dan akhirnya akan mati. Kemampuan suatu ilmu untuk menjawab berbagai kebutuhan masyarakat akan sangat tergantung pada epistemologinya, karena salah satu hal yang membedakan antara ilmu satu dengan ilmu lainnya adalah dari segi metodologinya.(Wasistiono, 2001). Demikian juga halnya dengan Ilmu Pemerintahan. Dari berbagai literatur dapat lihat bahwa bahwa pemerintahan disamping sebagai sebuah pengetahuan (knowledge) adalah sekaligus juga meruapakan sebuah kemahiran (know-how). Karena itu Ilmu Pemerintahan diharapkan dapat menjawab berbagai tantangan dalam kehidupan manusia, termasuk dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia dewasa ini.
Gelombang perubahan yang melanda Indonesia pasca jatuhnya pemerintahan orde baru, membuka wacana dan gerakan baru diseluruh aspek kehidupan masyarakat, tak terkecuali dalam dunia pemerintahan. Semangat yang menyala-nyala untuk melakukan reformasi, bahkan cennderung melahirkan euphoria, memberikan energi yang luar biasa bagi bangkintya kembali wacana otonomi daerah, setelah hampir sepertiga abad ditenggelamkan oleh rezim otoritarian orde baru dengan politik stick and carrot-nya (Sri Budi Santoso : 2000). Salah satu unsur reformasi total itu adalah tuntutan pemberian otonomi yang luas kepada daerah kabupaten dan kota. Marsdiasmo (1999), menyatakan bahwa tuntutan seperti itu adalah wajar, paling tidak untuk dua alasan. Pertama, intervensi pemerintah pusat yang terlalu besar di masa yang lalu telah menimbulkan masalah rendahnya kapabilitas dan efektivitas pemerintah daerah dalam mendorong proses pembangunan dan kehidupan demokrasi di daerah , Kedua, tuntutan pemberian otonomi itu juga muncul sebagai jawaban untuk memasuki era new game yang membawa new rules pada semua aspek kehidupan manusia di masa akan datang.
Dalam sejarah perkembangannya kebijakan otonomi daerah di Indonesia mengikuti pola seperti pada bandul jam yaitu beredar antara sangat sentralistik dan sangat desentarlistik. Apabila kebijakan yang dilaksanakan sangat sentralistik maka bandulnya akan ditarik kembali kepada arah titik keseimbanganm desentralistik demikian pula sebaliknya. Hal ini dapat dilihat dengan mengikuti perkembangan pelaksanaan otonomi daerah melalui peraturan perundang-undangan yang mengaturnya mulai dari UU nomor 1 tahun 1945 sampai dengan UU Nomor 22 tahun 1999.
Otonomi Daerah di Indonesia dilaksanakan dalam rangka desentralisasi di bidang pemerintahan. Desentralisasi itu sendiri setidak-tidaknya mempunyai tiga tujuan. Pertama, tujuan politik, yakni demokratisasi kehidupan berbangsa dan bernegara pada tataran infrastruktur dan suprastruktur politik. Kedua, tujuan administrasi, yakni efektivitas dan efisiensi proses-proses administrasi pemerintahan sehingga pelayanan kepada masyarakat menjadi lebih cepat, tepat, transparan serta murah. Ketiga, tujuan social ekonomi, yakni meningkatnya taraf kesejahteraan masyarakat.(Sadu Wasisitiono;2003)
Dalam makalah ini, kami mencoba untuk membahas sejarah perkembangan pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia sejak awal kemerdekaan sampai dengan era reformasi sekarang ini dengan melihat pelaksanaan undang-undang otonomi daearh dalam era tersebut. Untuk dapat membedakan pelaksanaan otonomi daerah pada masing-masing undang-undang maka kami akan mengkajinya dari sudut sistem yang digunakan, sehingga cakupannya meliputi otonomi daerah dari masa lalu, saat ini dan prospek kedepannya beserta hambatan-hambatan yang dihadapi dalam pelaksanaan otonomi daerah.
B.                 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:
1.      Bagaimana Perkembangan Sistem Otonomi Daerah dari masa lalu hingga saat ini?
2.      Bagaimana prospek otonomi daerah di masa yang akan datang?
3.      Bagaimana hambatan atau permasalahan yang dihadapi dalam pelaksanaan otonomi daerah?
 
 

BAB II
LANDASAN TEORITIK

          Pengertian Desentralisasi dan Bentuk-bentuk Desentralisasi
Menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa (1993) menjelaskan bahwa Desentralisasi adalah penyerahan wewenang/transfer wewenang dari pemerintah pusat baik kepada pejabat-pejabat pemerintah pusat di Daerah yang disebut Dekonsentrasi maupun kepada badan-badan otonom daerah yang sering disebut Devolusi. Pendapat lain adalah Carolie Bryant dan Luuise. G White (1975), mengatakan bahwa Desentralisasi adalah transfer kekuasaan atau kewenangan yang dapat dibedakan ke dalam desentralisasi administratif maupun desentralisasi politik. Menurut pendapat The Liang Gie (1986) Desentralisasi adalah pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada satuan-satuan organisasi pemerintahan untuk menyelenggarakan segenap kepentingan setempat dari sekelompok penduduk yang mendiami suatu wilayah. Desentralisasi pada negara kesatuan, berwujud dalam bentuk satuan-satuan permerintah lebih rendah (teritorial atau fungsional ) yang berhak mengatur dan mengurus sendiri sebagian urusan pemerintah sebagai urusan rumah tangganya, desentralisasi dalam negara kesatuan juga sebagai perwujudan dari azas demokrasi di dalam permerintahan negara, dimana diberikan kesempatan kepada rakyat untuk ikut serta menanggung dan memikul tanggung jawab yang dilakukan dengan memakai saluran-saluran tertentu ( Bagir Manan; 1990).
Bentuk-bentuk dari desentralisasi adalah:
·         Deconsentration, penyelenggaraan urusan pemerintah pusat kepada daerah melalui wakil perangkat pusat yang ada di daerah.
·         Delegation ke semi otonom dan parastatal organisasi adalah suatu pelimpahan kewenangan dalam pembuatan keputusan dan manajerial dalam melaksanakan tugas-tugas khusus kepada suatu organisasi yang tidak langsung berada di bawah pengawasan pemerintah pusat.
·         Devolution merupakan penjelmaan dari desentralisasi dalam arti luas, yang berakibat bahwa pemerintah pusat harus membentuk unit-unit pemerintahan di luar pemerintah pusat, dengan menyerahkan fungsi dan kewenangan untuk dilaksanakan secara sendiri atau disebut dengan desentralisasi teritorial.
·         Delegation to Non-government institutions atau penyerahan atau transfer fungsi dari pemerintah kepeda organisasi/institusi non pemerintah. Dengan sebuatan lain sebagai Privatisasi, yaitu suatu bentuk pemberian wewenang dari pemerintah kepada badan-badan sukarela, swasta, LSM/NGO’s, tetapi juga merupakan penyatuan badan-badan milik pemerintah yang kemudian di swastakan, seperti BUMN dan BUMD dilebur menjadi Perseroan Terbatas (PT).
Dengan demikian desentralisasi tidak hanya dipandang sebagai suatu gejala politik yang meliputi administrasi dan pemerintahan, atau hanya timbul karena alasan administrasi praktis, atau punya sebagai respon atas tuntutan politik yang di lokalisir untuk otonomi yang lebih besar (Stephen Garrish:1986). Apalagi dipandang sebagai suatu energi untuk memengatasi ketidak-stabilan yang teracam gerakan pemisahan dan tuntutan akan otonomi regional, atau pula sebagai suatu reaksi atas suatu pemerintahan yang begitu sentralistik.
Kebutuhan akan desentralisasi tidak selamanya muncul oleh desakan -desakan atau fenomena seperti tersebut di atas. Pokok utama dari adanya tuntutan akan desentralisasi merupakan suatu konsekkwensi dari bentuk negara dan sistim permerintahan suatu negara. Dalam negara kesatuan misalnya, desentralisasi merupakan juga perwujudan dari demokrasi di dalam rakyat untuk ikut serta menanggung dan memikul tanggung jawab yang dilakukan dengan memakai saluran-saluran yang teratur atau tertentu. Tetapi harus diakui pula, bahwa ada kecendrungan arti politik yang lebih universal dari desentralisasi. BC. Smith (1990) secara tajam melukiskan; bahwa ironisnya situasi- situasi pemerintah nasional ( pusat ) mengunakan desentralisasi sebagai enerji unutk mengatasi ketidak stabilan polotik yang terancam oleh gerakan pemisahan dan tuntutan akan otonomi regional - adalah seringkali disebabkan oleh kelompok- kelompok minoritas yang suka sekali “ diintegrasikan “ bila itu berarti menikmati hak-hak yang sama dengan penduduk mayoritas. Dikemukakan pula, bahwa pengertian deskriminasi di dalam masyarakat yang lebih luaslah yang sering memaksa kelompok kultural dan etnik minoritas untuk mencari otonomi. Disisi lain , menurut BC. Smith, negara sendiri yang mendiskriminasi atau cenderung untuk memberi hak mementukan nasib sendiri.
Sistem Otonomi Daerah
Yang dimaksud dengan faham atau sistem otonomi disini ialah patokan tentang cara penentuan batas-batas urusan rumah tangga daerah dan tentang tata cara pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada daerah menurut suatu prinsip atau pola pemikiran tertentu. (Sujamto; 1990)
Banyak istilah yang digunakan oleh para ahli untuk menerjemahkan maksud tersebut diatas. Penulis paling tidak mengidentifikasi ada empat istilah yang digunakan oleh para ahli untuk memahaminya. Istilah-istilah itu antara lain sistem, paham, ajaran, pengertian. Adapun mengenai faham atau atau sistem otonomi tersebut pada umumnya orang mengenal ada dua faham atau system pokok, yaitu faham atau system otonomi materiil dan faham atau sistem otonomi formal. Oleh Sujamto (1990) kedua istilah ini lazim juga disebut pengertian rumah tangga materiil (materiele huishoudingsbegrip) dan pengertian rumah tangga formil (formeele huishoudingsbegrip)
Koesoemahatmadja (1978) menyatakan ada tiga ajaran rumah tangga yang terkenal yaitu :
  • Ajaran Rumah Tangga Materiil (materiele huishoudingsleer) atau Pengertian Rumah Tangga Materiil (materiele huishoudingsbegrip),
  • Ajaran Rumah Tangga Formil (formil huishoudingsleer) atau Pengertian Rumah Tangga Formil (formeele huishoudingsbegrip)
  • Ajaran Rumah Tangga Riil (riele huishoudingsleer) atau Pengertian Rumah Tangga Riil (riele huishoudingsbegrip)
Pada ajaran rumah tangga materiil bahwa dalam hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah ada pembagian tugas yang jelas, dimana tugas-tugas tersebut diperinci dengan jelas dan diperiinci dengan tegas dalam Undang –Undang tentang pembentukan suatu daerah. Artinya rumah tangga daerah itu hanya meliputi tugas-tugas yang telah ditentukan satu persatu dalam Undang-Undang pembentukannya. Apa yang tidak termasuk dalam perincian tidak termasuk dalam rumah tangga daerah, melainkan tetap berada ditangan pemerintah pusat. Jadi ada perbedaan sifat materi antara tugas pemerintah pusat dam pemerintah daerah.
Adapun mengenai ajaran rumah tangga formil disini tidak terdapat perbedaan sifat antara tugas-tugas yang diselenggarakan oleh pemerintah pusat dan oleh pemerintah daerah. Apa yang dapat dikerjakan oleh pemerintah pusat pada prinsipnya dapat dikerjakan pula oleh pemerintah daerah demikian pula sebaliknya. Bila ada pembagian tugas maka itu didasarkan atas pertimbangan rasional dan praktis. Artinya pembagian tugas itu tidaklah disebabkan karena materi yang diatur berbeda sifatnya, melainkan semata-mata karena keyakinan bahwa kepentingan daerah itu lebih baik dan berhasil jika diselenggarakan sendiri daripada diselenggarakan oleh pemerintah pusat. Jadi pertimbangan efisiensilah yang menentukan pembagian tugas itu bukan disebabkan oleh perbedaan sifat dari urusan yang menjadi tanggung jawab masing-masing.


BAB III
PEMBAHASAN

Perkembangan Kebijakan Otonomi Daerah di Indonesia
a. UU Nomor 1 Tahun 1945 Tentang Pembentukan Komite Nasional Daerah.
Dalam pasal 18 UUD 1945, dikatakan bahwa, “Pembagian daerah Indonesia ataas dasar daerah besar dan daerah kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan Undang-Undang, dengabn memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam system pemerintahan Negara, dan hak-hak asal usul dalam daerah yang bersifat istimewa”. Oleh karena itu Indonesia dibagi dalam daerah-daerah yang lebih kecil yang bersifat otonom yang pengaturanya dilakukan dengan Undang-undang. Peraturan perundangan yang pertama yang mengatur otonomi daerah di Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 1 tahun 1945. Undang-Undang ini dibuat dalam keadaan darurat, sehingga sehingga hanya mengatur hal-hal yang bersita darurat dan segera saja. Dalam batang tubuhnya pun hanya terdiri dari 6 (enam ) pasal saja dan sama sekali tidak memiliki penjelasan. Penjelasan kemudian dibuat oleh Menteri Dalam Negeri dan tentang penyerahan urusan kedaerah tidak ada penjelasdan secara eksplisit.
Dalam undang-undang ini menetapkan tiga jenis daerah otonom, yaitu karesidenan, kabupaten dan kota berotonomi. Pada pelaksanaannya wilayah Negara dibagi kedalam delapan propinsi berdasarkan penetapan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) tanggal 19 Agustus 1945. Propinsi-propinsi ini diarahkan untuk berbentuk administratif belaka, tanpa otonomi. Dalam perkembangannya khususnya, Propinsi Sumatera, propinsi berubah menjadi daerah otonom. Di propinsi ini kemudian dibentuk Dewan Perwakilan Sumatera atas dasar Ketetapan Gubernur Nomor 102 tanggal 17 Mei 1946, dikukuhkan dengan PP Nomor 8 Tahun 1947. Peraturan yang terakhir menetapkan Propinsi Sumatera sebagai Daerah Otonom.
Dari uraian diatas maka tidak dapat dilihat secara jelas system rumah tangga apa yang dianut oleh Undang-undang ini.
b. Undang-Undang Pokok tentang Pemerintahan Daerah Nomor 22 Tahun 1948.
Peraturan kedua yang mengatur tentang otonomi daerah di Indonesia adalah UU nomor 22 tahun 1948 yang ditetapkan dan mulai berlaku pada tanggal 15 April 1948.
Dalam UU dinyatakan bahwa daerah Negara RI tersusun dalam tiga tingkat yakni :
a. Propinsi
b. Kabupaten/ Kota Besar
c. Desa/ Kota Kecil, negeri, marga dan sebagainya A s/d C tyang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. (Soejito;1976)
Dalam undang-undang ini tidak dinyatakan mengenai system rumah tangga yang dianutnya. Oleh karena itu untuk mengetahui system mana yang dianutnya, kita harus memperhatikan pasal-pasal yang dimuatnya. Terutama yang mengatur batas-batas rumah tangga daerah. Ketentuan yang mengatur hal ini terutama terdapat pada pasal 23 yang terdiri dari 2 ayat sebagi berikut:
1. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah mengatur dan mengurus rumah tangga daerahnya.
2. Hal-hal yang masuk urusan rumah tangga tersebut dalam ayat 1 ditetapkan dalam undang-undang pembentukan bagi tiap-tiap daerah. (Sujamto;1990)
Dari kedua pasal diatas terlihat bahwa luas daripada urusan rumah tangga atau kewenangan daerah dibatasi dalam undang-undang pembentukannya. Daerah tidak memiliki kewenangan untuk mengatur atau mengurus urusan-urusan diluar yang telah termasuk dalam daftar urusan yang tersebut dalam UU pembentukannya kecuali apabila urusan tersebut telah diserahkan kemudian dengan UU.
Dari uraian di atas terlihat bahewa UU ini menganut sistem atau ajaran materiil. Sebagai mana dikatakan Nugroho (2001) bahwa peraturan ini menganut menganut otonomi material., yakni dengan mengatur bahwa pemerintah pusat menentukan kewajiban apasaja yang diserahkan kepada daerah. Artinya setiap daerah otonom dirinci kewenangan yang diserahkan, diluar itu merupakan kewenangan pemerintah pusat. Hanya saja sistem ini ternyata tidak dianut secara konsekuen karena dalam UU tersebut ditemukan pula ketentuan dalam pasal 28 ayat 4 yang berbunyi: “Peraturan daerah tidak berlaku lagi jika hal-hal yang diatur didalamnya kemudian diatur dalam Undang-Undang atau dalam Peraturan pemerintah atau dalam peraturan Daerah yang lebih tinggi tingkatannya”. (Sujamto;1990)
Ketentuan ini terlihat jelas membawa ciri sistem rumah tangga formil. Jadi pada dasarnya UU ini menganut dua sistem rumah tangga yaitu formil dan materil. Hanya saja karena sifat-sifat sistem materiil lebih menonjol maka banyak yang beranggapan UU ini menganut sistem Materil.
Perlu dicatat bahwa pada 27 Desember 1949 RI menandatangani Konferensi Meja Bundar, dimana RI hanya sebagai Negara bagian dari Republik Indonesia Serikat yang wilayahnya hanya meliputi Jawa, Madura, Sumatera ( minus Sumatera Timur), dan Kalimantan. Dengan demikian maka hanya pada kawasan ini sajalah UU ini diberlakukan sampai tanggal 17 Agustus 1950 saat UUD sementara diberlakukan.
c. Undang-Undang Nomor 1 tahun1957
Dalam perjalannya UU ini mengalami dua kali penyempunaan yaitui dengan Penetapan Presiden Nomor 6 Tahun 1959 dan Penetapan Presiden Nomor 5 Tahun 1960. Adapun nama resmi dari system otoniomi yang dianut adalah system otonomi riil, sebagaimana secara tegas dinyatakan dalam memori penjelan UU tersebut. (Soejito;1976)
Ketentuan yang mencirikan tentang system otonomi yang dianutnya terdapat pada pasal 31 ayat 1,2 dan 3 sebagai berikut:
1. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah mengatur dan mengurus segala urusan rumah tangga daerahnya kecuali urusan yang oleh Undang-undang diserahkan kepada peguasa lain.
2. Dengan tidak mengurangi ketentuan termaksud dalam ayat 1 diatas dalam peraturan pembentukan ditetapkan urusan-urusan tertentu yasng diatur dan diurus oleh dewan perwakilan Rakyat Daerah sejak saat pembentukannya.
3. Dengan peraturan pemerintah tiap-tiap waktu dengan memperhatikan kesanggupan dan kemampuan dari masing-masing daerah, atas usul dari dewan perwakilan rakyat daerah yang bersangkutan dan sepanjang mengenai daerah tingkat II dan III setelah minta pertimbangan dari dewan pemerintah daerah dari daderah setingkat diatasny, urusan-urusan tersebut dalam ayat 2 ditambah denga urusan lain.
Dari ketentuan-ketentuan tersebut terlihat bahwa ciri-ciri system otonomi riil jauh lebih menonjol dibandingkan dengan yang tedapat dalam UU nomor 22 tahun 1948. karena itu tidak aneh jika banyak para ahli yang tetap menganggabnya sebagai sistem otonomi formil. Tetapi karena dualisme yang dianutnya seperti telihat pada pasal 31 ayat 2 diatas maka tidak salah juga unutk mengatakan bahwa UU ini menganut system yang dapat diberi nama sendiri yaitu system otonomi riil. (Sujamto;1990)
Penyempurnaan pertama terhadap UU ini dilakukan berdasarkan Penetapan Presiden Nomor 6 tahun1959. pemberlakukan PP dilatar belakangi oleh kembalinya RI kedalam sistem Negara kesatuan dengan diberlakukannya kembali UUD 1945 melalui dDekrit Presiden 5 Juli 1959 menggantikan UUD Sementara tahun 1950. dalam peraturan ini daerah tetap dibagi dalam tiga tingkatan, namun dengan perbedaan bahwa Kepala Daerah I dan II tidak bertanggung jawab kepada DPRD I dan II sehingga dualisme kepemimpinan di daerah dihapuskan. Kepala Daerah berfungsi sebagi alat pusat di Daerah dan Kepala Daerah diberi kedududukan sebagai Pegawai Negara.
d. Undang-undang Nomor 18 tahun 1965
UU ini hampir seluruhnya melanjutkan ketentuan yang ada dalam UU Nomor 1 tahun 1957 dan Penetapan Presiden Nomor 6 tahun 1959 serta Nomor 5 tahun 1960. Dikatakan oleh Sujamto (1990) Seperti halnya UU Nomor 1 Tahun 1957 UU ini juga menyatakan diri menganut Sistem Otonomi Riil. Bahkan dalam penjelasan umumnya banyak sekali mengoper bagian dari penjelasan umum UU Nomor 1 Tahun 1957.
Dalam pelaksanaannya meski konsepsinya menyatakan adalah penyerahan otonomi daerah secara riil dan seluas-luasnya, namun kenyataannya otonomi daerah secara kesel;uruhan masih berupa penyerahan oleh pusat.daerah tetap menjadi actor yang pasif.
e. UU Nomor 5 tahun 1974
Berbeda dengan dua UU terdahulu ( UU Nomor 1 tahun 1957 dan UU Nomor 18 tahun 1965) yang menyatakan diri menganut system otonomi riil UU nomor 5 tahun 1974 tidak berbicara apa-apa mengenai system otonomi yang dianutnya. UU ini menyatakan otonomi yang nyata dan bertanggung jawab bukan sebagai system atau faham atau pengertian akan tetapi sebagai suatu prinsip. (Sujamto; 1990)
Sebagaimana diketahui pada masa pemerintahan Orde baru melakukan perombakan secara mendasar dalam penyelenggaraan desentralisasi dan otonomi daerah, melalui kebijakan yang tertuang di garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) dalam Ketetapan MPR No. IV/MPR/1973, yang antara lain mengatakan :
a. Asas desentralisai digunakan seimbang dengan asas dekonsentrasi dimana asas dekonsentrasi tidak lagi dipandang sebagai suplemen atau pelengkap dari asas desentralisasi ;
b. Prinsip yang dianut tidak lagi prinsip otonomi yang seluas-luasnya, melainkan otonomi yang nyata dan bertanggungjawab. Di kemudian hari, MPR dengan ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1978 menambahkan kata dinamis di samping kata nyata dan bertanggungjawab.
Menurut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974, otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku. Dalam Undang-undang ini juga menganut prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung jawab. Prinsip ini dianut untuk mengganti sistem otonomi rill dan seluas-luasnya yang dianut oleh Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965.
Adapun ketentuan yang mengatur mengenai pembatasan terhadap luasnya urusan rumah tangga daerah dapat dilihat dalam beberapa pasal berikut :
1. Pasal 5 yang merupakan ketentuan yang belum pernah ada pada semua UU terdahulu yaitu yang mengatur tentang penghapusan suatu daerah.
2. Pasal 7 yang berbunyi daerah berhak, berwenang dan berkewajiban mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri sesuai dengan peraturan perundang undangan yang berlaku;
3. Pasal 8 ayat 1 berbunyi “Penambahan penyerahan urusan pemerintahan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah”
4. Pasal 9 yang berbunyi “sesuatu urusan pemerintahan yang telah diserahkan kepada daerah dapat ditarik kembali dengan pengaturan perundang-undangan yang setingkat.
5. pasal 39 yang mengatur pembatasan-pembatasan terhadap ruang lingkup materi yang yang dapat diatur oleh Peraturan Daerah.
Dari ketentuan-ketentuan diatas maka terlihat sesungguhnya UU adalah menganut system atau ajaran rumah tangga material . dalam UU ini tidak ditemukan ketentuan yang mengatakan tentang gugurnya suatu Peraturan Daerah apabila materinya telah diatur dalam Peraturan perundang-undangan atau dalam peraturan daerah yang lebih tinggi yang merupakan ciri dari system rumah tangga formil.
f. UU Nomor 22 tahun 1999
Sebagaimana UU Nomor 5 tahun 1974 dalam UU ini juga tidak dinyatakan secara gamblang tentang system atau ajarang rumah tangga yang dianutnya. Untuk dapat mengetahui system atau ajaran yang dianut kita harus melihatnya pada pasal-pasal yang mengatur tentang pembatasan kewenangan atau luasnya uruasan yang diberikan kepada daerah.  Dalam UU sebutan daerah tingkat I dan II sebagaimana UU Nomor 5 tahun 1974 dihilangkan menjadi hanya daerah propinsi dan daerah kabupaten/ kota. Hierarki antara propinsi dan Kabupaten/ kota ditiadakan. Otonomi yang luas diberikan kepada daerah kabupaten dan daerah kota. Sedangkan propinsi.
Adapun ketentuan yang mengatur mengenai pembatasan terhadap luasnya urusan rumah tangga daerah dapat dilihat dalam beberapa pasal berikut :
1. Dalam pasal 7 dinyatakan bahwa kewenangan daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiscal, agama serta kewenangan bidang lain.
2. Dalam pasal 9 dinyatakan Kewenangan propinsi sebagai daerah otonom mencakup kewenangan dalam bidang pemerintahan yang bersifat lintas kabupaten dan kota serta kewenangan yang tidak atau belum dilaksankan oleh kabupaten dan kota. Selain itui kewenangan propinsi sebagai daerah administrative mencakup kewenangan dalam bidang pemerintahan yanmg dilimpahkan kepada gubernur selaku wakil pemerintah pusat.
3. Dalam pasal 10 ayat 1 daerah berwenang mengelola sumberdaya nasional yang tersedia diwilayahnya dan bertanggung jawab memelihara kelestarian lingkungan sesuai dengan perundang-undangan.
4. Dalam pasal 11 dinyatakan bahwa kewenangan daerah kabupaten dan kota mencakup semua kewenangan pemerintahan selain kewenangan yang dikecualikan dalam pasal 7 dan yang diatur dalam pasal 9.
Dari uraian diatas terlihat system atau ajaran rumah tangga yang digunakan atau danutnya adalah perpaduan antara ajaran rumah tangga material dan ajaran rumah tangga formil. Dikatakan menganut ajaran materil karena dalam pasal 7, pasal 9 dan pasal 11dinyatakan secara jelas apa-apa saja yang menjadi urusan rumah tangga yang merupakan ciri daripada system atau ajaran rumah tangga material. Sedangkan dikatakan menganut pula ajaran formil antara lain terlihat pada pasal 10, pasal 70 dan pasal 81 didalamnya dinyatakan bahwa daerah kabupaten dan kota memiliki kewenangan untuk mengelola sumberdaya nasional yang tersedia di wilayahnya. Selain itu dkatakan bahwa peraturan daerah daerah tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum, peraturan daerah lain dan peraturan perundangan-undangan yang lebih tinggi yang meruapakan ciri daripada system atau ajaran rumah tangga formil.
f. UU Nomor 32 tahun 2004
Otonomi Daerah yang dilaksanakan saat ini adalah Otonomi Daerah yang berdasarkan kepada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Menurut UU ini, otonomi daerah dipahami sebagai Pemerintah pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Kewenangan Daerah otonom, selanjutnya disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Prinsip-prinsip pemberian Otonomi Daerah dalam UU 32/2004 adalah :
1.      Penyelengaraan Otonomi Daerah dilaksanakan dengan memperhatikan aspek demokrasi, keadilan, pemerataan, serta potensi dan keanekaragaman Daerah.
2.      Pelaksanaan Otonomi Daerah didasarkan pada otonomi luas, nyata dan bertangung jawab.
3.      Pelaksanaan Otonomi Daerah yang luas dan utuh diletakkan pada Daerah Kabupaten dan Daerah Kota.
4.      Pelaksanaan Otonomi Daerah harus sesuai dengan konstitusi negara sehingga tetap terjamin hubungan yang serasi antara Pusat dan Daerah serta antara Daerah.
5.      Pelaksanaan Otonomi Daerah harus lebih meningkatkan kemandirian Daerah Otonom, dan karenanya dalam daerah Kabupaten dan Daerah Kota tidak ada lagi wilayah administratif.
6.      Pelaksanaan Otonomi Daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi badan legislatif Daerah, baik sebagai fungsi legislatif, fungsi pengawas maupun fungsi anggaran atas penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.
Hambatan yang ada dalam pelaksanaan Otonomi Daerah
Sebagian kalangan menilai bahwa kebijakan Otonomi Daerah di bawah UU 32/2004 merupakan salah satu kebijakan Otonomi Daerah yang terbaik yang pernah ada di Republik ini. Prinsip-prinsip dan dasar pemikiran yang digunakan dianggap sudah cukup memadai dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat dan daerah. Kebijakan Otonomi Daerah yang pada hakekatnya adalah upaya pemberdayaan dan pendemokrasian kehidupan masyarakat diharapkan dapat mememnuhi aspirasi berbagai pihak dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan negara serta hubungan Pusat dan Daerah.
Akan tetapi, jika kita melihat fakta yang ada penyelenggaraan Otonomi Daerah selama ini banyak mengalami kegagalan dan tidak mencapai sasaran yang telah ditetapkan. Kegagalan ini telah menimbulkan ketidakpuasan dan ketersinggungan akan rasa keadilan yang melahirkan tuntutan untuk memisahkan diri, pembentukan negara federasi, dan tuntutan-tuntutan keras agar Otonomi Daerah segera dilaksanankan terutama bagi daerah yang belum belum mendapatkan pengakuan akan hal ini. Adapun permasalahan-permasalahan mendasar yang dialami dalam pelaksanaan Otonomi Daerah:
1.      Penyelenggaraan Otonomi Daerah oleh pemerintah selama ini cenderung tidak dianggap sebagai amanat konstitusi, sehingga proses desentralisasi menjadi tersumbat.
2.      Kuatnya kebijakan sentralisasi membuat semakin tingginya ketergantungan daerah-daerah kepada pusat yang nyaris mematikan kreatifitas masyarakat beserta seluruh perangkat pemerintahan di daerah.
3.      Adanya kesenjangan yang lebar antara daerah dan pusat dan antar daerah sendiri dalam kepemilikan sumber daya alam, sumber daya budaya, infra stuktur ekonomi, dan tingkat kualitas Sumber Daya Manusia.
4.      Adanya kepentingan melekat pada berbagai pihak yang menghambat penyelenggaraan otonomi ini.

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Dari uraian diatas terlihat bahwa dalam sejarah perkembangan kebijakan otonomi daerah di Indonesia tidak ada satu ajaran atau sistem yang digunakan secara konsisten. UU otonomi daerah yang paling lama digunakan adalah UU nomor 5 tahun 1974 hanya tidak dapat digunakan secara maksimal karena sepanjang 25 tahun usianya belum semua peraturan pelaksanaannya dibuat bahkan termasuk UU tentang perimbangan kekuangan antara pusat dan daerah sampai diganttikan oleh UU Nomor 22 tahun 1999. Keadaan ini pada gilirannya membuka kesempatan pada eksekutif untuk melakukan interpretasi sesuai dengan seleranya.
Demikian pula dalam pelaksanaan UU Nomor 22 tahun 1999, belum semua peraturan pelaksanaannya dilengkapi sehingga pelaksanaannya tidak dapat dilakukan secara maksimal dan menimbulkan banyak ekses disana sini. Perbedaanya jika dalam UU nomor 5 tahun 1974 peran eksekutif sangat mendominasi maka dalam UU 22 tahun 1999 peran legislatif ditunjukkan dengan cukup signifikan. Karena banyaknya ekses yang timbul dalam pelaksanaan UU Nomor 22 tahun1999 sekarang muncul keinginan untuk merevisi kembali UU ini. Kita belum tahu apa yang menjadi semangat dari UU sebagai hasil revisi dari UU Nomor 22 tahun 1999 ini apakah memiliki semangat otonomi daerah atau semangat sentralisasi.
Dengan melihat pelaksanaan kebijakan otonomi diatas, kami berkesimpulan bahwa pelaksanaan kebijakan otonomi daerah di Indonesia tidak pernah mencapai tujuan yang diharapkan dikarenakan tidak adanya konsistensi pelaksanaan terhadap tiap-tiap UU tantang Otonomi daerah yang pernah diberlakukan di Indonesia. Tiap UU tersebut tidak pernah dilaksanakan sampai tuntas karena besar kepentingan politik dari masing-masding pihak yang dominan pada masa diberlakukannya UU tersebut.
Sebagaimana dikemukakan oleh Elfian Effendi (2001) yang mengatakan adanya delapan indikasi ancaman keberhasilan otonomi daerah yaitu sebagai berikut :
  1. Konflik elit politik yang tidak kunjung selesai.
  2. Meruncingnya perseteruan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah.
  3. Amandemen UU Nomor 22/1999 dan UU Nomor 25/1999 hanya akan memperlambat proses otonomi daerah.
  4. Defisit APBN dan desentralisasi fiscal.
  5. Utang luar negeri telah mengganggu kedaulatan bangsa.
  6. Rusaknya dunia perbankan dan mati surinya sector riil.
  7. Terbatasnya investasi asing dan domestik karena ketidaknyamanan berinvestasi.
  8. Keterbatasan cadangan sumber daya alam yang diandalkan sebagai dana bagi hasil.
Berhasil tidaknya implementasi otonomi daerah pada era sekarang akan sangat tergantung pada semangat para penyelenggara pemerintahan daerah serta dukungan masyarakat, bukan oleh pihak lain. Berkaitan dengan hal tersebut dituntut kesadaran semua pihak untuk menyatukan langkah dan bersikap saling percaya, sebab pembangunan memerlukan kepercayaan yang tinggi (high trust).
Saran
Prospek yang bagus tidak akan dapat terlaksana jika berbagai kendala dan tantangan yang dihadapi tidak dapat diatasi dengan baik. Untuk dapat mewujudkan prospek Otonomi Daerah di masa mendatang tersebut diperlukan suatu kondisi yang kondusif diantaranya yaitu:
1.      Adanya komitmen politik dari seluruh komponen bangsa terutama pemerintah dan lembaga perwakilan untuk mendukung dan memperjuangkan implementasi kebijakan Otonomi Daerah.
2.      Adanya konsistensi kebijakan penyelenggara negara terhadap implementasi kebijakan Otonomi Daerah.
3.      Kepercayaan dan dukungan masyarakat serta pelaku ekonomi dalam pemerintah dalam mewujudkan cita-cita Otonomi Daerah.
Dengan kondisi tersebut bukan merupakan suatu hal yang mustahil Otonomi Daerah mempunyai prospek yang sanat cerah di masa mendatang. Dengan  dukungan dan kerjasama seluruh komponen bangsa kebijakan Otonomi Daerah dapat diimplementasikan dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah.

 
DAFTAR PUSTAKA
Ismawan, Indra. 2002. Ranjau-ranjau Otonomi Daerah. Pondok Edukasi: Solo.
Sutaryono. 2006, 13 September. Partipasi Masyarakat, Otonomi Daerah dan Penataan Ruang. Harian Kedaulatan Rakyat, hlm.39.
Sarundajang,S.H, 1999. Arus balik Kekuasaan Pusat Ke Daerah. Pustaka Sinar Harapan: Jakarta
Soejito, Irawan, 1976. Sejarah Pemerintahan Daerah Di Indonesia jilid 1&2. Pradnya Paramita: Jakarta
Koesoemahamadja,R.D.H., 1978. Fungsi & Struktur Pamongpraja. Alumni: Bandung
Mardiasmo, 2002. Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah. Andi: Yogyakarta.
Nugroho, Riant, 2001. Reinventing Indonesia. PT. Elex Media Komputindo: Jakarta
Sujamto, 1990. Otonomi Daerah yang nyata dan bertanggung jawab. Ghalia Indonesia: Jakarta
Sumargono, 1995. Jati Diri Ilmu Pemerintahan, Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap Institut Ilmu Pemerintahan, Jakarta.
Wasistiono, Sadu, 2001. Esensi UU NO.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Bunga Rampai). Alqaprint: Jatinangor